Jumat, 30 Januari 2009

cerpen - Kepada Malaikat Kecil Pembawa Berita

Solo, 2 Februari 2006
Pagi selalu kuliat matahari senyum senyum padaku. Dan juga pagi ini. Menghangat dan pula terasa nikmat. Bahkan membuatku tak ingat mimpi apa semalam aku ini.Lalu kubalas senyum matahari. Tiba-tiba saja aku bicara dalam hati,” Hati-hati nanti kau terbakar oleh senyumnya”. Tapi sudahlah, Cuma melintas di pagi ini. Beranjak aku bertemu dengan cermin yang bertaut di pojok kamarku. “ Apakah aku ini masih seperti beberapa hari kemarin?”, “Apa aku ini masih seperti beberapa bulan kemarin?”. Ya.Memang masih sama.Tapi aku tak bisa melihat apa isi otakku. Aku tak bisa melihat isi hatiku. Ya tentu. Betapa bodohnya aku ini.
Secangkir kopi pahit pagi itu. Aku kembali terduduk di sebuah kursi di depan kamarku. “ Siapa lagi mandi…..ANTRI……”. Baru aku mau melamun sambil menikmati secangkir kopi pahit itu. Benar-benar mengganggu suara mereka. Biasa, teman-teman yang selalu bangun kesiangan dan terburu-buru antri mandi.
“Malaikat Kecil Pembawa Berita”.Ya….Lalu kuteguk sedikit kopi di cangkirku.Mungkin dia. Dia teramat manis. Bahkan sangat manis.Menaruh gerimis sejuk di sebuah hati yang membatu. Bisu. Gerimisnya mematuk-matuk hingga lebur menjadi kepingan yang luruh. Sungguh manis. Keajaiban itu tiba. Ya. Itulah alasanku kenapa aku memilih minum kopi pahit ini tanpa gula. Karena dia sudah cukup manis menemaniku pagi ini minum kopi. Aku tak perlu gula . Lalu siapakah malaikat kecil pembawa berita itu?Dia. Dia kataku. Dia datang ketika itu mengabarkan kalau jiwa-jiwa patah harus terselamatkan. Kalau hati –hati beku harus mencair sebelum nanti benar-benar berubah jadi batu. Benar dan dia sangat manis.
Lantas, dia menawarkan segelas air pink dingin kepadaku. Sungguh segar, kataku dalam hati. Sungguh manis. Dan manis itu telah menyusup di aliran darah, menyatu di indera pengecapku. Dan kopi yang kuminum kini berasa manis. Dan manis itu selalu menemaniku saat seperti aku duduk, minum kopi di depan kamarku.
“Breeessssss…..” Tiba-tiba hujan di pagi seperti ini. Matahari mungkin belum selesai tersenyum. Tiba-tiba aku berpikir, kalau saja air hujan itu berasa garam. Kalau saja dia menetes pada sebuah luka yang belum kering. Apakah aku akan kepayahan merasakan pedih?Apakah aku lantas marah sambil mengatakan hujan tak pengertian?Lalu aku melanjutkan minum kopi. Ternyata masih manis. Ah kau….pastinya kau akan beranjak pergi. Aku tahu pasti itu. Terimakasih manis yang kau bingkiskan tanpa sengaja itu tidak membuat aku mati. Dan aku sadar luka itu tidaklah pedih, tapi manis. Karena hingga pagi ini di depan kamarku, aku masih melihat kau berada beberapa meter di depanku, tersenyum. Kau tlah mengabarkan padaku. Dan aku menunggu entah kabar apa lagi yang akan kau bawa.Dan yang pasti, aku masih menikmati secangkir kopi pahit tanpa gula. Tak apa-apa. Terimakasih untuk kedatanganmu. Bersedia mampir sebagai Malaikat Kecil Pembawa Berita. Dan tahukah sayang….kopi di cangkirku ini akan selalu manis.Entah sampai kapan. Semoga Cinta Melindungi Hidup Kita.